Memori Indah Waktu Kecil, Bergayut di Belakang Pedati Cukup Mengasyikkan

0
7548

Oleh : Wirmas Darwis, SE

Sabana Kaba, Tanah Datar—Ketika melihat foto pedati yang ditampilkan oleh fasbuker di Medsos (Media Sosial) saya teringat kembali sewaktu kecil. Meskipun dalam ijazah dilahirkan di Sawah Lunto, namun semasa kecil saya banyak menghabiskan waktu di Nagari Tuan Kadhi Padang Ganting, karena diantara Bukik Pagie dan Bukik Palano itu lah saya dibesarkan oleh orang tua.

BACA JUGA : Antisipasi Kemacetan, Satlantas Polres Padang Panjang Eksis di Pasar Koto Baru

Mengenang indahnya masa kecil di Padang Ganting ini mungkin banyak yang bisa dilukiskan, mulai dari main semba lakon, main kelereng, tapak lele, kotak rokok dan lain yang cukup mengasyikkan bagi kami generasi kecil tahun enam puluhan.

Dari sekian banyak permainan di masa kecil, bergelantung di belakang pedati juga termasuk yang tak kalah asyiknya, meskipun kadang-kadang sering kena marah oleh pemilik pedati. Uniknya lagi, jika si pemilik pedati tidak mengetahui kita bergelantung di belakang atau di tempat yang menjorok di belakang pedati sangatlah asyiknya.

Dulu, di tahun tujuh puluhan transportasi berupa kendaraan bermotor masih terbilang bisa dihitung dengan jari. Untuk mengangkut hasil pertanian dan perkebunan, baik itu berupa padi, karet atau getah dan barang dagangan lainnya sering menggunakan alat transportasi tradisional yang disebut masyarakat dengan pedati.

Kendaraan ini mayoritas terbuat dari kayu, dengan roda yang dilingkari besi, kemudian ditarik oleh sapi atau kerbau. Namun, ketika masa pedati ini hampir tergilas truk, pick up dan pengangkut barang lainnya, pedati sering pula menggunakan ban mobil, satu di kiri dan satu di kanan yang tetap ditarik oleh sapi (jawi) atau kerbau.

Bila dilihat dari segi ekonomi maupun kesehatan lingkungan, pedati memang cukup efisien, karena tidak menggunakan BBM (Bahan Bakar Minyak), kecuali penyediaan rumput untuk makan sapi yang menariknya. Kemudian dari segi kesehatan, pedati tidak menimbulkan asap yang dapat merusak polusi udara.

Dari segi harga, sebuah pedati tidak membutuhkan uang ratusan juta rupiah, karena bahan baku pembuatannya mayoritas menggunakan kayu. Tidak seperti kendaraan roda empat yang harus dibeli dengan puluhan juta, bahkan ratusan juta rupiah.

Tulisan ini tidak mengajak kita untuk menggunakan transportasi masa lalu, karena tidak mungkin kita akan naik pedati yang kecepatannya sangat lambat sekali. Tetapi, hanya sekedar mengenang masa lalu yang tidak akan mungkin kembali.

Setidaknya, rekan-rekan yang memiliki masa kecil tahun enam puluhan akan senyum-senyum kecil membayangkan masa lalunya. Meskipun sarana transportasi sekarang sudah serba canggih, namun memori masa kecil mempunyai arti tersendiri dalam kehidupannya, selamat hanyut dalam masa lalu dan semoga masa sekarang tetap diberi kebahagian, Aamiiin….(***)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here